Pages

Sunday, August 7, 2011

Maaf. Maaf. Maaf

Di umur 7 tahun, saya sempat tinggal di Tambun, Bekasi. Hanya 2 tahun. Selepas itu, saya kembali pindah di sini. Tanjung Priok, Jakarta Utara.

Tidak menunggu lama setelah pindah, saya langsung didaftarkan ke pengajian. Tempat kakak saya belajar mengaji, sebelumnya. Hari pertama, saya sudah mendapat beberapa teman yang bersedia menegur saya duluan. Ya, saya memang tipikal orang yang sungkan sekali menegur duluan sebelum ditegur orang lain. Pemalu, bukan orang yang sombong.

Teman pertama saya bernama Siti Khadijah. Parasnya putih seperti orang bule, rambutnya agak pirang sedikit (itu saya tau setelah sempat melihat dia ambil air wudhu dan membuka jilbabnya). Berkenalan dan kami merasa cocok untuk menjadi sepasang sahabat dekat karna kebetulan dia adalah teman sekolah sepupu saya di sebuah sekolah islam bernama Al-Amin. Sekolah yang jaraknya tidak dekat dan tidak jauh dari rumah saya a.k.a sedang-sedang saja.

Saya lupa sudah berapa lama persahabatan itu terjalin. Saking dekatnya, hal kecil sering kali memicu pertengkaran antara kami.

Suatu hari, saya mengambil tempat sholat di deret depan. Saya memang senang sholat di deret depan, karna lebih jelas mendengar suara imam dan tidak tergoda untuk bercanda dengan teman lain di waktu sholat. Tapi, Ijah (nama panggilan teman saya itu) minta saya pindah tempat dengan alasan tempat itu sudah dibooked olehnya. Ok, saya mengalah dan langsung ambil tempat di deret belakang karna memang kebetulan deret depan sudah penuh ditempati yang lain.

Tapi, tiba-tiba si Ijah datang dan minta maaf sama saya. Beranggapan saya marah sama dia. Sungguh, tidak ada perasaan marah sama sekali. Tapi entah kenapa, dia merasa saya marah dan terus memaksa saya memaafkan dia. Saya pun bersikukuh untuk menjelaskan bahwa saya tidak marah sama dia. Dia terus memaksa dan puncaknya saya benar2 marah. Marah atas paksaan dia. Ini memang benar-benar hal sepele yang memalukan untuk dijadikan alasan kami bertengkar. Beberapa waktu ke depan, respon dan tingkah saya ke dia seakan-akan seperti orang yang tidak bersedia untuk menegur atau berteman dengan dia. Saat itu, memang masih kecil dan terbilang cukup ababil.

Mungkin sudah puluhan kali dia mencoba minta maaf pada saya, tapi tak pernah saya gubris. Selalu buang muka tiap dia tegur dan lempar senyum. Diam-diaman itu terus berjalan hingga saat ini (saya sudah keluar dari tempat mengaji itu di kelas 1 SMP).

Sudah sejak 5 tahun lalu saya sadar kalau saya ini bodoh sekali. Menjauhi teman sebaik dia hanya karna hal sepele. Siapa yang tidak marah jika sudah meminta maaf berpuluh-puluh kali, tapi tetap tidak digubris. Saya sadar akan kesalahan saya. saya akui saya ini bodoh. Bodoh. bodoh sekali. Saya benar-benar menyesal dan ingin sekali meminta maaf padanya. Pernah beberapa kali berpapasan di jalan, tapi nyali saya ciut untuk menegurnya. Ego saya terlalu tinggi untuk meminta maaf padanya. Mungkin yang ada di benaknya, saya masih marah dan enggan untuk tegur sapa dengannya. Tapi sebenernya adalah saya terlalu penakut untuk meminta maaf.

Akhir-akhir ini, sering sekali dia hadir dalam mimpi saya. Dalam mimpi, kami berbincang dan bertegur sapa seperti dulu, saat masih bersahabat dekat. Ya, memang berbeda sekali dengan sekarang.

Terlalu sering dia hadir dalam mimpi saya dan terlalu sering saya menangis karna dia. Sungguh. Niat sekali saya untuk memohon maaf. Sungguh :'(

0 comments:

Post a Comment